Saat ini, American Psychological Association memiliki kode etik untuk eksperimen psikologis. Tetapi karena peraturan tersebut kurang ketat, terjadilah beberapa eksperimen psikologi yang terkenal kontroversial di Amerika.
1. The Little Albert
Di artikel sebelumnya tentang bagaimana rasa takut terbentuk, kita telah berbicara sedikit tentang eksperimen ini.
Pada tahun 1920 di Johns Hopkins University, John B. Watson meneliti tentang pengkondisian klasik, yaitu pengkaitan rangsangan terkondisi dengan rangsangan tidak-terkondisi sampai keduanya memberikan hasil yang sama.
Percobaan dilakukan terhadap bayi berusia 9 bulan yang dipanggil Albert B. Bayi ini awalnya menyukai tikus putih. Kemudian Watson mengkaitkan keberadaan tikus dengan suara-suara keras. Albert menjadi takut terhadap tikus putih dan hewan berbulu lainnya.
2. Bystandder Effect (Efek Pengamat)
Pada tahun 1968, John Darley dan Bibb Latan tertarik dengan kejadian pembunuhan seorang wanita muda bernama Kitty Genovese, dimana tidak ada saksi mata yang berusaha mencegahnya.
Pasangan ini melakukan eksperimen di University of Columbia. Para peserta ditinggalkan ketika sedang mengisi formulir di dalam ruangan yang perlahan-lahan terisi asap berbahaya. Hasil penelitian menunjukkan peserta yang sendirian di dalam ruangan lebih cepat melaporkan asap dibandingkan peserta-peserta dalam kelompok.
Eksperimen semakin tidak etis ketika peserta didengarkan suara rekaman seolah-olah seseorang menjadi kejang-kejang. Dan hasilnya, peserta tersebut bahkan lebih cepat bereaksi ketika mereka mendengarnya.
3. Eksperimen Milgram
Pada tahun 1961, seorang psikolog dari Yale bernama Stanley Milgram ingin memahami mengapa banyak orang mau berpartisipasi dalam tindakan kejam Holocaust. Dia memiliki teori bahwa orang pada umumnya cenderung untuk mematuhi otoritas.
Para peserta diberikan kesan bahwa mereka akan melakukan eksperimen memori yang melibatkan sepasang guru dan murid, tetapi peran murid sebenarnya dimainkan oleh aktor. Mereka dipindahkan kedalam satu ruangan dan guru diinstruksikan untuk menekan tombol kejutan listrik setiap kali murid menjawab salah. Kejutan listrik akan bertambah kuat setiap kali, sampai akhirnya murid berteriak putus asa. Milgram menyimpulkan bahwa peserta guru tetap memberikan kejutan listrik walaupun adanya ketidaknyamanan dalam belajar.
Seandainya kejutan listrik ini benar-benar ada, sebagian besar peserta akan membunuh murid. Jika fakta ini diberitahukan kepada para peserta, ini bisa menyebabkan bahaya psikologis.
4. Eksperimen Monyet Harlow
Pada tahun 1950, Harry Harlow dari University of Wisconsin meneliti ketergantungan bayi dengan menggunakan monyet. Monyet dipisahkan dari ibu kandungnya yang diganti dengan dua ibu, satu terbuat dari kain dan satu terbuat dari kawat. Ibu kain memberikan kenyamanan, sedangkan ibu kawat memberikan makanan melalui botol. Monyet tersebut menghabiskan sebagian besar waktu dengan ibu kainnya, dan hanya sekitar 1 jam setiap hari dengan ibu kawatnya. Harlow juga menggunakan intimidasi untuk membuktikan bahwa monyet lebih memilih ibu kain ketika ketakutan.
Percobaan dengan mengisolasi monyet dari monyet-monyet lainnya juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka yang tidak belajar untuk menjadi bagian dari kelompok di usia muda, tidak bisa mengasimilasi dan kimpoi ketika mereka semakin tua.
5. Ketidakberdayaan Belajar
Pada tahun 1965, Martin Seligman bereksperimen menggunakan anjing yang diletakkan disebuah kotak yang dibagi menjadi dua bagian dengan sebuah penghalang. Kemudian, dia mengirim kejutan listrik yang bisa dihindari jika anjing meloncati penghalang ke bagian satunya lagi. Anjing belajar cepat untuk menghindari kejutan.
Kemudian percobaan dilanjutkan dengan kejutan listrik acak yang tidak bisa dihindari. Di hari berikutnya, anjing dipindahkan ke kotak dengan penghalang sebelumnya. Walaupun keadaan baru ini memungkinkan untuk menghindari kejutan, anjing tersebut hanya menangis tidak mencoba untuk melewati penghalang.
6. Eksperimen Gagap
Pada tahun 1939 di University of Iowa, Wendell Johnson ingin menemukan penyebab gagap karena dia mengalami masalah ini sewaktu kecil.
Eksperimen dilakukan terhadap 22 orang anak yatim, 12 diantaranya tidak gagap. Mereka dibagi menjadi dua kelompok secara acak, setengah dari mereka diajari secara positif, dan setengahnya lagi diajari secara negatif, terus-menerus dianggap gagap oleh guru mereka.
Pada akhirnya, tidak ada seorang pun di kelompok pertama yang gagap, tetapi anak-anak di kelompok kedua sering mengalami masalah gagap.
7. Mata Biru Vs. Mata Coklat
Pada tahun 1968, seorang guru SD di Iowa bernama Jane Elliott mencoba memberikan pengalaman diskriminasi kepada siswanya sehari setelah Martin Luther King Jr. ditembak. Dia melakukan eksperimen dengan membagi siswa kedalam kelompok bermata biru dan bermata coklat. Kemudian Elliott mengutip penelitian ilmiah palsu yang mengatakan bahwa satu kelompok lebih unggul dari yang lain.
Elliott menyimpulkan bahwa hanya dalam satu hari kelompok unggul menjadi lebih kejam dan kelompok rendahan menjadi merasa minder.
8. Eksperimen Penjara Stanford
Pada tahun 1971, Philim Zimbardo dari Stanford University melakukan eksperimen penjara yang bertujuan untuk menguji perilaku kelompok dan pentingnya peran. Eksperimen melibatkan 24 mahasiswa. Setengah dari mereka ditugaskan menjadi tahanan dan sisanya menjadi penjaga penjara. Para peneliti menciptakan pengalaman realistis untuk para tahanan, termasuk penjara bawah tanah dan penangkapan palsu di rumah peserta.
Para penjaga diinstruksikan untuk tidak melakukan kekerasan, tetapi mereka harus tinggal untuk menjaga keadaan. Di hari kedua, para tahanan mulai memberontak dengan membarikade diri di sel mereka dan mengabaikan penjaga. Perilaku ini membuat para penjaga bertindak dengan memisahkan tahanan dalam kelompok baik dan buruk. Kelompok buruk akan diberikan hukuman-hukuman seperti push up, kurungan dan penghinaan publik.
Dalam beberapa hari, penjaga menjadi sadis dan tahanan merasa tertekan dan akhirnya menjadi stres